Beberapa waktu belakangan ini saya memang agak mulai sadar akan kebanggaan daerah. Meskipun dulu kuper dan hampir gak pernah maen di wilayah Kabupaten sendiri, sekarang muncul keinginan untuk memajukan dan mempromosikan wilayah ini.
Saya pertama kali tahu tentang Pulau Tiban dari postingan teman SMP sekaligus SMA saya, bu Ari di laman FaceBooknya beberapa bulan yang lalu. Dari situ timbul rasa tertarik saya untuk mengunjungi, namun karena saat itu posisi masih di Jakarta, maka keinginan tersebut baru bisa diwujudkan Sabtu, 7 Mei 2016 ini.
Dari informasi yang saya dapatkan dari bu Ari, yang juga merupakan guru geografi di SMAN 1 Kendal, sekaligus warga desa Kartika Jaya, yang notabene satu wilayah dengan Pulau Tiban tersebut, untuk menuju ke lokasi tujuan, saya bisa lewat Patebon arah ke daerah Bleder, atau lewat jalan ke utara samping Kantor Pos Patebon. Karena posisi saya menginap di tempat ortu di Cepiring maka pilihannya adalah lewat Patebon, yang terletak setelah jembatan Kalibodri.
Kebetulan adik saya dan suaminya sedang pulang kampung dan membawa mobil. Jadi satu rombongan kita terdiri dari saya, adik, suaminya, ponakan yang masih kelas 1 SD dan bayi, serta tante dan nenek. Sekitar jam enam pagi kita berangkat dari Cepiring. Di waktu segitu tentunya sudah lewat sunrise, tapi tidak apa-apa. Yang penting rasa penasaran kita tentang Pulau Tiban bisa terpenuhi.
Meskipun sudah bertahun-tahun hidup di wilayah Kendal, ini adalah perjalanan pertama saya mengunjungi Desa Kartika Jaya Kecamatan Patebon. Meskipun sempet tanya ke beberapa orang, Alhamdulillah nggak nyasar. Tentu saja saya bawa smartphone yang terinstall aplikasi Waze dan Google Map, tapi tetap saja buat saya masih nyaman nanya langsung ke orang. Toh di sini bukan ibukota, yang lalu lintasnya padat dan harus buru-buru.
Tak jauh setelah gerbang Desa Wisata Kartika Jaya, mobil dibelokkan ke kanan menuju dermaga. Mobil lalu diparkir di halaman sebuah rumah. Di dermaga Kartika Jaya yang cukup sederhana, kami bertemu dengan pak Joko Basuki. Saat itu belum ramai orang. Bahkan penjaga tiket perahu/kapal belum muncul. Menurut Pak Joko tidak apa-apa kita bayar belakangan saja sesudah kembali berwisata. Saya intip di loket terdapat tulisan: Rp15.000 perahu, Rp20.000 kapal.
Karena rombongan kami cukup banyak, yaitu 5 orang dewasa, 1 anak kecil, dan 1 bayi, maka pak Joko memutuskan untuk membawa kami dengan Kapal Speedboat. Selain kita, ada tambahan sepasang remaja. Jadi total penumpang kapal 10 manusia, termasuk pak Joko, sang Nahkoda.
Kapal digerakkan dengan mesin motor tempel. Perlahan kita menyusuri aliran air, dimana di sisi kiri kanan kita terdapat tambak ikan, serta hutan tanaman api-api. Kita seperti dihantarkan melalui semacam sungai hingga sampai di laut lepas. Perjalanan di laut tepi ternyata tak seberapa jauh dan lama, hanya sekitar 5 – 10 menit saja, karena di hadapan kita telah nampak sebuah daratan. Inilah Pulau Tiban yang jadi destinasi wisata kita.
Setelah kapal ditambatkan, satu per satu penumpang melangkah keluar. Setelah foto-foto di papan nama pulau, kita bergerak menyebar. Sejauh mata memandang, menurut saya sebenarnya Pulau Tiban ini sebenarnya adalah semacam semenanjung, karena daratannya yang konturnya memanjang dan masih menyambung dengan daerah dermaga yang kita tinggalkan tadi. Bukan sebuah daratan terpisah yang dikelilingi laut. Hanya saja, bagian daratan menuju Pulau Tiban ini tidak ada akses mudah untuk berjalan kaki. Hanya ada hutan dan tambak pribadi, sehingga tidak etis untuk dilewati, selain itu juga kalau mau jalan berarti juga memutar, lebih jauh jaraknya daripada lewat jalur air. Begitu penjelasan dari pak Joko.
Sebelum berkeliling saya pilih mengobrol dulu dengan pak Joko untuk lebih paham dengan Pulau Tiban ini. Untuk tahu tentang obrolan saya mengenai asal-usul Pulau Tiban bisa dibaca di tulisan saya selanjutnya. Setelah cukup berbincang-bincang, saya melangkahkan kaki di sepanjang jalan setapak, dimana kanan-kirinya ditanami pohon cemara. Di tepian pulau banyak ditanami bakau. Di tengah-tengah pulau Saya dapati sebuah warung yang menyediakan jajanan dan minum. Penjualnya adalah seorang wanita dan laki-laki. Sayangnya saya dan rombongan sudah bawa jajan sendiri, jadi nggak beli di warung tersebut. Tak jauh dari warung ada bangunan toilet, tapi karena belum butuh, jadi saya tidak ke sana.
Saya lihat kerabat saya bermain-main di tepi pantai. Saya pun menyusul. Di sana mereka asyik menjejakkan kaki di pasir, berlari dan menyusuri air, bahkan nenek saya mengumpulkan cangkang kerang. “Bagus,” katanya. Namun anak bayi adik saya enggan disuruh turun. Sepertinya dia risih dengan pasir laut. Ombak bergerak tenang, namun nampaknya tidak ada diantara kita yang tertarik bergerak lebih dalam ke laut. Susana lengang karena sedang tidak banyak pengunjung. Selain kami, saya lihat ada juga rombongan lain yang datang dengan perahu tradisional. Mereka ada yang bermain air, memotret alam, selfie, dan juga duduk-duduk ngobrol. Sinyal provider handphone cukup baik di Pulau ini. Mungkin karena letaknya tidak terlalu jauh dari daratan, sehingga beberapa foto bisa langsung saya upload ke media social dari tempat ini.
Waktu menunjukkan pukul 9 ketika kita memutuskan untuk selesai kunjungan. Dengan mengajak pulang sepasang anak muda yang tadi satu rombongan kapal dengan kami, kita pun bergerak menuju dermaga. Sambil jalan saya lihat ada bapak-bapak yang membawa jangkul dan mengurug genangan air. Sewaktu saya tanya, tanah atau pasir itu untuk mengatasi rob. Memang saya lihat di sejumlah bagian pulau terdapat genangan air. Kata si bapak dia adalah bagian dari Kelompok Sadar Wisata Kartika Beach yang bertugas mengelola kelestarian pulau bersama rekan-rekannya.
Saya adalah yang terakhir masuk ke kapal. Selain kami rombongan yang tadi berangkat, ternyata ada tambahan dua orang penumpang lain, keduanya perempuan. Matahari sudah mulai terik, namun hati ini terasa sejuk bisa menikmati keindahan dan pengalaman alam. Heran juga saya, di perjalanan pulang kita berpapasan dengan beberapa kapal tradisional yang saya rasa membawa rombongan yang hendak pergi ke Pulau Tiban. Mungkin bagi mereka tidak masalah berwisata di tengah panasnya matahari.
Alhamdulillah, kami sampai di dermaga desa Kartika Jaya dengan selamat. Waktu sudah menunjukkan pukul 09:30an. Tentu saja saya masih ingat untuk membayar jasa kapal. Karena rombongan kami lima orang dewasa, maka saya serahkan selembar uang 100.000. Selain itu juga saya mengeluarkan 5.000 untuk bayar parkir mobil. Untuk diketahui parkir motor biayanya 2.000. Begitulah pengalaman seru saya berkunjung ke pulau Tiban yang mungil, sehingga rasanya seperti milik pribadi. Di tulisan berikutnya rencananya saya akan membahas Asal-usul Pulau Tiban, jalur menuju ke sana, serta usulan ide untuk mengembangkan Pulau Tiban supaya lebih nyaman dan semakin maju!
Source : http://www.kelilingkendal.com/index.php/2016/05/16/jalan-jalan-ke-pulau-tiban-kendal/
0 komentar:
Posting Komentar